David Livingstone
(19 Maret 1813 –1 Mei
1873)
Impian David Livingstone adalah pergi ke
tempat yang belum pernah dikunjungi oleh seorang misionaris manapun; mencium
bau asap yang berasal dari perkampungan tak dikenal; serta bersaksi kepada
orang-orang di balik gurun Kalahari yang sangat luas.[i]
Walaupun dilahirkan dalam kemiskinan di
Skotlandia, ia memiliki keinginan yang sangat kuat untuk maju. Ia mengecap
pendidikan bahasa Yunani di Universitas Glasgow. Kuliah Agama di Congregational College. Mendalami ilmu
kedokteran dan anatomi di Anderson
College.
David muda bukanlah pemuda yang gagah dan
ganteng. Tinggi tubuhnya hanya 5 kaki 4 inci (160 cm). Perawakannya kekar, dada
bidang, bahu lebar dan selebihnya ramping. Rambut coklat tebal dan mata yang
cerdas, hangat. Sifatnya yang sangat serius, keras hati, pemberani, dan tegas
membuat gadis-gadis muda tidak tertarik kepadanya. Ia paham hal itu. Saudara
perempuannya, Janet mengatakan, kegagahan David terletak di dalam batinnya. Ia
seorang pembelajar tulen; sangat berminat dengan perjalanan dan ilmu
pengetahuan alam. Ia yakin bahwa Tuhan dan ilmu pengetahuan memiliki kecocokan.
Tuhan memanggil dia sejak usia muda dan ia terinspirasi oleh Dr. Tomas Dick
penulis “The Philosophy of Future State”.
Pertama kali dikirim oleh Perhimpunan
Pekabaran Injil London (London Missionary
Society) ke Afrika tahun 1840. Saat itu Afrika terkenal sebagai “kuburan
orang kulit putih”.
David segera mengetahui betapa sedikitnya
misionaris di wilayah utara. Melihat kehidupan para misionaris yang sangat
keras di Afrika, dia bertekad hidup lajang (selibat -- tidak menikah). Tapi
atas kehendak Allah, rupanya David tidak memiliki karunia hidup lajang.
Terbukti ia bertemu dan kemudian menikahi Mary Moffat, anak seorang misionaris
Inggris yang melayani di Afrika. Watak
David yang kuat seperti Api (dominan) dan suka mendikte menimbulkan konflik
dalam pelayanannya. Bahkan pernah mengakibatkan rekan pelayanannya Roger
Edwards terintimidasi dan mengancam mengirim surat pengaduan ke London Missionary Society. Tetapi
sebagian besar, watak apinya itu sangat membantu David dalam menunaikan misinya
di benua Afrika yang luas dan buas.
Kelelahan, penyakit serius, binatang buas
merupakan hal biasa bagi David. David memperlakukan penduduk asli Afrika
sebagai orang yang sama derajat dan sangat menentang perbudakan. Karena saat itu,
terjadi usaha pembunuhan dari para pedagang budak ketika ia melakukan
perjalanan misi ke Selatan Angola, Mozambik dan Air Terjun Victoria.
Dalam masa melayani, Anaknya yang berumur 1
bulan, Elizabeth dan isterinya, Mary meninggal karena sakit demam di Afrika.
Selama lebih dari tigapuluh tahun di Afrika,
David telah berjalan, merayap, mendaki, mengarungi, mendayung kano, berperahu,
mengendarai hewan lebih dari 40.000 mil. Ia mencatat dan membuat peta setiap
tapak yang ia lalui. Ia bercerita kepada setiap orang Afrika bahwa ia melihat
kabar baik tentang Yesus Kristus.
Sewaktu ia berkhotbah di London, orang
melihat tangannya sudah rusak. Itu terjadi
karena ketika dia pergi melayani di Afrika, di tengah perjalanan, ia diterkam
oleh singa.
David yang konsisten sangat dikagumi dan
dihormati. Baik oleh teman-teman maupun musuh-musuhnya. Ia seorang yang
mencapai keagungan yang sudah ditetapkan Allah selama 60 tahun hidupnya.
Waktu akan meninggal dunia, David berkata
kepada teman-temannya di Inggris, " Kalau aku meninggal, aku tidak mau
dikuburkan di Inggris, aku mau dikuburkan di Afrika." Mereka menolaknya,
karena dia seorang yang agung dan sangat dihargai seluruh kerajaan. Meskipun David
seorang misionaris, seorang hamba Tuhan, tetapi dia dikagumi oleh orang-orang
penting di istana Buckingham, mana mungkin dikuburkan di sana? Akhirnya dia
berkata, "Baiklah. Kalau aku mati, bawalah tubuhku ke London, tetapi aku
ingin jantungku dikuburkan di Afrika."
Akhirnya Ia meninggal karena sakit dan
pendarahan. Sebagai penghormatan atas misi dan penjelajahan David di Afrika dan
sesuai pesannya, mereka melangsungkan dua kali penguburan. Jantung dan bagian
dalam tubuhnya dikubur di bawah pohon mvula
di Afrika. Tubuhnya
dibawa oleh kapal H.M.S. Volture ke Inggris. Tanggal 18 April 1874 dimakamkan
di Wesminster Abbey di antara legenda
Inggris lainnya.
Ada cerita menarik dalam proses penguburannya di
Inggris. Waktu jasadnya ditaruh di satu tempat, banyak orang datang melayat
untuk mengenang dia. Pada upacara penguburannya, ketika peti jenazah
Livingstone diarak di jalan-jalan besar di London, ada sekelompok orang melihat
seorang pria tua yang usianya lebih 90 tahun. Ia berjalan sambil memegang peti
jenazah. Kepalanya tertunduk. Ia terus menangis. Mereka tidak tahu, siapakah pria
tua ini. Apa hubungan dia dengan David Livingstone? Mereka lalu menghampiri
dia, dan bertanya, "Sebenarnya, siapakah Anda bapak tua? Mengapa engkau
begitu sedih? Mengapa bapak terus
menangis?"
Orang tua itu menjawab "Saya bukan
familinya, bukan siapa-siapa. Tetapi saya adalah seseorang yang bersama dengan
Livingstone pada hari yang sama dipanggil oleh Tuhan menjadi hambaNya. Hari itu
dia menyerahkan diri, tetapi saya melarikan diri. Setelah puluhan tahun, saya
lari dari panggilan Tuhan, saya tidak setia kepada-Nya, saya tidak mengerjakan
apa yang Tuhan mau saya kerjakan. Sedangkan Livingstone dengan setia
mengerjakannya. Dia menjadi hamba Tuhan sampai mati. Waktu saya boleh memegang
peti jenazahnya, saya terharu. Saya baru sadar, ternyata saya telah menjalani
hidup dengan sia-sia. Saya menangisi diri saya. Sekarang saya sudah terlalu
tua. Saya menyesal, dan terus akan menyesal selama-lamanya."
Ayah mertuanya, Penginjil Robert Moffat yang
hidup lebih lama dibandingkan Livingstone berkata ”Ia mengorbankan segalanya: rumah,
persetubuhan Kristen, prospek yang cerah dan kehormatan dunia–untuk satu tujuan
besar: membawa Injil Anak Allah ke Jantung Afrika. Pada tahun 1990, sepuluh
negara Afrika yang modern tempat Livingstone meninggalkan jejaknya telah
berpenduduk lebih dari 140 juta. Dari 125 juta penduduk kulit berwarna, 75 juta
orang adalah pengikut Kristus.